Sabtu, 03 Desember 2011

HUKUM PERBURUAN

BAB I
HAKEKAT EPISTEMOLOGI

A.  PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistemologi atau teori pengetahuan sebagai titik pusatnya, yang
mendefinisikan pengetahuan, menentukan wataknya, membedakan
variasi-variasi utamanya, menandai sumber-sumbernya dan
menentukan batas-batas kriterianya. " Apa yang dapat kita
ketahui, serta bagaimana dapat kita ketahui", adalah persoalan
pokok epistemologi. Secara amat sederhana dapat dikatakan
bahwa epistemologi menentukan cara memperoleh dan jenis
pengetahuan yang dihasilkan, yang pokok-pokoknya membentuk suatu
paradigma, yang melalui pengaruhnya terhadap asas-asas semua
ilmu pengetahuan, teknologi, kehidupan bernegara, cara beragama
dan lain sebagainya membangun kenyataan dunia.

B.   TUJUAN MEMPELAJARI EPISTEMOLOGI
Epistemologi juga adalah suatu ilmu yang membahas tentang kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Dalam mempelajari epistemology Hukum Perburuhan adalah untuk mengetahui bahwa ada ilmu pengetahun yang membahas tentang hukum perburuhan yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Dengan adanya para fiilosof hukum perburuhan maka kita dapat meningkatkan dan mengembangkan ilmu ini sesuai dengan realita yang ada, agar nantinya dapat kita jadikan acuan dalam hidup ini.  
BAB II
PERGERAKAN BURUH INDONESIA

A.   SEJARAH PERGERAKAN BURUH INDONESIA
Timbulnya pergerakan buruh di kalangan bangsa kita sebenarnya merupakan suatu aksi yang muncul dari harga diri kebangsaan yang dikobarkan partai politik. Dan tidak heran dalam perkembangannya, pasang-surut pergerakan buruh sebagian ditentukan oleh gelombang politik kebangsaan dalam perjuangan pembebasan diri dari kungkungan kolonialisme.
Masa selanjutnya adalah masa berorganisasi. Masa ini, menurut Sandra, diwarnai oleh bersatunya pegawai pemerintah dengan pegawai partikelir dan golongan pekerja Eropa dengan pekerja pribumi. Cikal bakal organisasi buruh lahir dalam kongres IV Serikat Islam (SI) di Surabaya. Dari kongres itu lahir sebuah federasi buruh bernama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). Alimin, Semaoen dan Soerjopranoto menjadi pengurus federasi ini. Dalam program umumnya, PPKB menetapkan negara sebagai pelaksana perintah rakyat dan berfungsi untuk mempersatukan kaum buruh untuk mengubah nasibnya. Gerakan organisasi yang berumur pendek ini sarat muatan politisnya, namun tetap dilakukan untuk mendukung aksi-aksi ekonomi buruh.
Pada tahun 1921, Malaise menjadi kosa kata yang populer. Pemerintah kolonial memasuki kelesuan ekonomi. Rasionalisasi perusahaan terjadi dimana-mana. Aksi pemogokan banyak terjadi. Di masa ini pemerintah kemudian mensahkan artikel 161 bis. Pemerintah juga mengaktifkan kantor Pengawasan Perburuhan yang berada dibawah Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang secara terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru menyangkut perburuhan.
Pada tahun 1922, PPKB dan RV berhasil membangun aliansi yang bernama PVH (Persatuan Vakbond Hindia). PVH ini hanya bertahan sampai tahun 1926 akibat dari kegagalan aksi politik PKI tahun 1926 yang disusul penangkapan besar-besaran terhadap aktivis RV. Setelah itu gerakan buruh memasuki masa sepi, sampai dengan tahun 1927.

B.    SEJARAH HUKUM PERBURUHAN
Sejarah hukum perburuhan erat kaitannya dengan  Revolusi Industri yang menandai munculnya zaman mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya. Ciri utama mekanisasi ini adalah: hilangnya industri kecil, jumlah buruh yang bekerja di pabrik meningkat, anak-anak dan perempuan ikut diterjunkan ke pabrik dalam jumlah massal, kondisi kerja yang berbahaya dan tidak sehat, jam kerja panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang sangat buruk.
Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum perburuhan adalah buruknya kondisi kerja di mana buruh anak dan perempuan bekerja, terutama di pabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri mereka. Undang-undang perburuhan pertama muncul di Inggris tahun 1802, kemudian menyusul di Jerman dan Perancis tahun 1840, sedangkan di Belanda sesudah tahun 1870.
Substansi undang-undang pertama ini adalah jaminan perlindungan terhadap kesehatan kerja (health) dan keselamatan kerja (safety). Undang-undang perlindungan inilah yang menandai berawalnya hukum perburuhan.
Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan pada kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan dengan mulus. Karena saat berlangsung Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak boleh melakukan intervensi ke dalam bidang ekonomi kecuali untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam (the night-watchman-state). Karena itulah upaya pemerintah untuk melindungi buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah melanggar kebebasan individual dalam melakukan aktifitas ekonomi dan kebebasan menjalin kontrak.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hukum perburuhan yang melindungi buruh adalah hasil desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen. Secara perlahan, munculnya hukum perlindungan buruh merupakan bukti bahwa secara sosial doktrin laissez-faire mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak lagi dapat diterapkan secara mutlak. Mulai muncul kesadaran bahwa negara harus intervensi dalam hubungan buruh-majikan.
Kesadaran baru ini ditandai dengan munculnya teori sosial yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin laissez-faire. Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang perlindungan buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama hukum sosial yang didasarkan pada teori
ketidakseimbangan kompensasi. Teori ini bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Maka hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat.


C.   HUBUNGAN BURUH DAN MAJIKAN DI MASA ORDE LAMA
Indonesia merupakan negara yang lebih awal mengeluarkan serangkaian hukum perburuhan yang dalam substansinya sangat pro-buruh. Ini dikeluarkan tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Menilai undang-undang perburuhan yang dikeluarkan selama Orde Lama dan tidak dicabut selama Orde Baru, James Castle, ketua Kamar Dagang Amerika di Jakarta, mengatakan, "Contrary to public perception, labor law in effect during the Suharto era was one of the most pro-labor sets of legislation in the region" [Bertentangan dengan persepsi umum, hukum perburuhan yang berlaku selama era Soeharto adalah salah satu paket perundangan yang paling pro-buruh di Asia]. Penilaian di atas tidak meleset jika melihat substansi undang-undang di bidang perburuhan yang muncul selama orde lama.
Memang secara historis harus diakui bahwa gerakan buruh di Indonesia awalnya merupakan bagian penting gerakan nasionalis Indonesia secara keseluruhan. Karena oleh penjajah Belanda dimusuhi dinilai berbahaya secara politis, serikat buruh memperlihatkan orientasi politik yang makin kuat dengan menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar dari penindasan dan kemiskinan yang dialami kaum buruh Indonesia adalah dengan menumbangkan rejim kolonial. Sejak awal, Pemerintah di Indonesia dianggap bertugas untuk melindungi buruh, menjunjung tinggi hak-hak buruh dan mengusahakan kondisi kerja yang baik. Dianggap sudah pantas bahwa pemerintah berdiri di pihak buruh dalam perjuangan mereka melawan eksploitasi dan penindasan.
Konteks di atas inilah yang bisa menjelaskan model akomodasi buruh-majikan-pemerintah semasa Orde Lama yang terlihat dari paket perundang-undangan yang dikeluarkan, seperti: Undang-Undang Kecelakaan, UU No.33 tahun 1947; Undang-Undang Kerja, UU No. 12 tahun 1948; UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan; UU No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama; UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.Substansi semua undang-undang ini memperlihatkan bahwa posisi gerakan buruh cukup dominan secara politis selama Orde Lama. Selama Orde Lama, banyak pemimpin serikat buruh duduk di parlemen. Bahkan hingga tahun 1956 terdapat Fraksi Buruh khusus di Parlemen yang anggotanya terdiri dari para pemimpin SOBSI.
Kelemahan utama asumsi seperti ini adalah kenyakinan bahwa undang-undang akan menyelesaian hubungan buruh dan majikan yang pada dasarnya atau terutama berkarakter ekonomis. Masalah buruh dan majikan dipahami sebagai masalah hukum semata-mata. Semua energi dan tenaga diarahkan bukan untuk membangun saling percaya (mutual trust) antara buruh dan majikan. Selama periode ini, ketidakseimbangan sosial-ekonomis antara buruh dan majikan memang cukup disadari. Akan tetapi, intervensi pemerintah untuk menyeimbangkannya lewat undang-undang tidak disertai usaha-usaha administratif dan teknis yang komprehensif untuk menciptakan pengaturan bersama (collective regulation) bidang hubungan indutrial oleh buruh dan majikan melalui institusi perundingan kolektif yang stabil.




D.   HUBUNGAN BURUH DAN MAJIKAN DI MASA ORDE BARU
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru. Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.
Disamping pendekatan ekonomis ini, Vedi Hadiz menunjuk aspek lain yang sama pentingnya dalam kebijakan perburuhan Orde Baru, yaitu pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya. Agenda utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal., seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran Orde Lama.
Menurut Vedi, kendatipun stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Kondisi perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri. Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya.

E.   PENGARUH PAHAM LIBERALISME  DALAM HUKUM PERBURUHAN
Sejarah kelahirannya telah memperlihatkan bahwa hukum perburuhan adalah suatu pengecualian darurat dari doktrin utama karena memuat campur tangan negara ke dalam hubungan yang seharusnya merupakan kebebasan para pihak, yaitu buruh dan majikan. Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.
Bahaya intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau "mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern berdiri di atas kejayaan liberalisme. Sejarah panjang hukum sejak abad Kegelapan (Dark Ages), Renaisance hingga abad modern memperlihatkan jejak yang menuju : pembebasan individu. Hukum modern adalah sarana perlindungan individu. Hukum modern memang didasarkan para asumsi-asumsi yang individualistik. Ia mematok secara ketat berbagai rambu-rambu untuk melindungi kemerdekaan individu. Sistem hukum yang liberal ini kadang dinilai mengabaikan keadilan demi melindungi kemerdekaan individu. Logika dasar hukum modern menegaskan bahwa hukum hanya bergerak dalam ruang lingkup hubungan antar individu.
Hukum modern juga memiliki ciri khas yang tidak ada sebelumnya. Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum. Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat menghilangkan keadilan yang substansial.

F.   PANDANGAN  ISLAM TENTANG PERMASALAHAN PERBURUHAN.
Bertolak dari prinsip dalam Al-Quran (2:279), adalah untuk
memelihara keseimbangan (keadilan) antara buruh dan pemlik
modal. Beberapa prinsip umum dalam bidang ini terkandung di
dalam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadist yang dikutip dari buku
"Sosialisme Islam" assiba'i, hal 207-214.
"Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai nilai,
imbalannya hendaknya dipenuhi dan jangan ada yang
teraniaya."(46:19)
"Sesungguhnya aku tidak mengabaikan amal dari kamu masing-masing
baik dari laki-laki maupun perempuan." (3:195)
"Dan janganlah kamu mengurangi barang-barang orang." (7:85)
"Dan kami akan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang
tertindas di mukabumi." (28:5)
Hadist Nabi:
Setiap orang dari kamu adalah penggembala dan setiap penggembala
bertanggung-jawab terhadap gembalaannya. (Bukhari Muslim)
Buruh adalah penggembala atas harta majikannya dan harus
bertanggung jawab atas gembalaannya itu. (Bukhari-Muslim)
Ada tiga orang yang akan menjadi lawanku di akhirat seorang
diantara mereka itu adalah orang yang mempekerjakan buruh tetapi
tidak memenuhi upahnya.
Bayarlah upah si buruh sebelum habis keringatnya.
Kepada buruh yang tidak mempunyai tempat tinggal berilah tempat
tinggal, yang belum kawin kawinkanlah, yang belum mempunyai
kendaraan sediakanlah kendaraan. (Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Ayat Al-Quran dan Hadist yang terpapar di atas,
tentulah masih merupakan prinsip umum, karena itulah tugas kita
bersama untuk menjadikan dalam bentuk konsep. Khusus untuk ICMI
harusnya dituntut untuk menjabarkan lebih detail isi Al-Quran
dan Hadist agar mampu membuat konsep sistem politik, sosbud,
masalah perburuhan dan dominasi konglomerat yang mengabaikan
rakyat kecil dan lainnya yang dianggap urgen sampai tingkat
operasionalnya, bahkan memperjuangkannya (Jihad) bila konsep
tadi bertentangan dengan penguasa. Aneh jika ada cendikiawan
malah justru jadi pendukung penguasa yang Zholim (menindas
rakyatnya).













T U G A S

HUKUM PERBURUHAN DAN MILIK PERINDUSTRIAN
DOSEN : IR. ANDI AMRULLAH


EPISTEMOLOGI

 HUKUM PERBURUHAN









N A M A      : ARMAN BASRI
STAMBUK      : 2000 31 020
FAKULTAS : T E K N I K
JURUSAN      : TEKNIK PERTAMBANGAN




UNIVERSITAS VETERAN REPUBLIK INDONESIA
M A K A S S A R
2 0 0 3






















BAB III
PENUTUP


III.1  KESIMPULAN
1.  Sejarah kelahirannya telah memperlihatkan bahwa hukum perburuhan adalah suatu pengecualian darurat dari doktrin utama karena memuat campur tangan negara ke dalam hubungan yang seharusnya merupakan kebebasan para pihak, yaitu buruh dan majikan. Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang
2.  Timbulnya pergerakan buruh di kalangan bangsa kita sebenarnya merupakan suatu aksi yang muncul dari harga diri kebangsaan yang dikobarkan partai politik.
3.   Lahirnya hukum perburuhan terkait erat dengan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa, khususnya di Inggris pada abad ke-19. Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum perburuhan adalah buruknya kondisi kerja di mana buruh anak dan perempuan bekerja, terutama di pabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri mereka. Undang-undang perburuhan pertama muncul di Inggris tahun 1802, kemudian menyusul di Jerman dan Perancis tahun 1840, sedangkan di Belanda sesudah tahun 1870.
4.  Dibanding Korea, Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara pada umumnya, Indonesia adalah yang lebih awal mengeluarkan serangkaian hukum perburuhan yang dalam substansinya sangat pro-buruh. Ini dikeluarkan tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hampir semua undang-undang perburuhan Orde Lama  pro-buruh yang secara kental mengungkapkan kesadaran bahwa kaum buruh adalah sokoguru pembangunan.
5.   James Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai oleh kontrol pusat yan otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
6. Hukum modern berdiri di atas kejayaan liberalisme.  Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid).  Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu.
7.  Akomodasi Buruh, Majikan, Negara menilai hubungan antara hukum dan institusi hukum di satu pihak dan institusi hubungan industrial di lain pihak.
8.  Hukum perburuhan berawal dari kesadaran akan ketidakseimbangan sosial-ekonomis antara-buruh dan majikan. Namun harus diakui bahwa logika yang dianut hukum perburuhan merupakan penyimpangan dari logika hukum mainstream (arus utama).
9.  Bertolak dari prinsip dalam Al-Quran (2:279), adalah untuk
memelihara keseimbangan (keadilan) antara buruh dan pemlik
modal. Beberapa prinsip umum dalam bidang ini terkandung di
dalam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadist







Tidak ada komentar:

Posting Komentar